Sebelum Nama, Sebelum Cerita

Sebelum Nama, Sebelum Cerita

da639387b207f5f71e39ce4f4e790e51
pinimg.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Alkisah, seorang pria sedang berjalan di pasar. Tiba-tiba, sepotong panah datang dari kejauhan, dan menancap ke lengan kanannya. Rasa sakit langsung menyengat lengannya, dan kemudian menyebar ke sekujur tubuhnya. Panah tersebut telah melukai tubuhnya.
Sejenak, ia berpikir, “Mengapa ini terjadi padaku? Apa yang telah kuperbuat, sehingga aku layak menerima musibah ini? Andaikan aku istirahat di rumah, tentu saja panah itu tidak akan datang padaku. Bagaimana jika lenganku cacat, dan nanti tubuhku tak sempurna lagi, sehingga para wanita akan meninggalkanku?” Inilah “panah kedua” yang melukai pikirannya.
Sakit dan Penderitaan
Panah pertama menciptakan rasa sakit pada tubuh. Sementara, “panah kedua” melukai batinnya, atau pikirannya. Sakit tubuh akan segera lenyap, ketika diberi obat. Sementara, sakit pikiran akan berjalan terus, walaupun sakit tubuh sudah lenyap. Sakit pikiran menciptakan penderitaan.
Panah pertama adalah fakta kehidupan. Banyak hal terjadi, tanpa alasan yang jelas. Orang yang rajin berolahraga dan berdiet tiba-tiba meninggal, karena serangan jantung. Orang yang rajin bekerja dan jujur justru kehilangan pekerjaan dan terhambat karirnya.
Panah kedua adalah cerita yang kita bangun di dalam pikiran kita. Segala bentuk analisis dan penamaan adalah bagian dari cerita tersebut. Ketika kita mulai memberi nama pada pengalaman kita, misalnya pengalaman sial, kita sudah mulai untuk membuat cerita. Nama lalu berlanjut pada analisis dan spekulasi yang seringkali menciptakan penderitaan batin yang besar.
Bukan Kenyataan
Penamaan semacam ini bukanlah sesuatu yang alamiah. Ia adalah bentukan sosial. Kata “pengalaman sial” adalah penilaian kita adalah sebuah peristiwa yang menimpa kita, begitu juga dengan kata pengalaman baik, pengalaman untung, pengalaman sedih, pengalaman traumatis dan sebagainya. Semua adalah penilaian dari pikiran kita, dan setiap penilaian adalah hasil dari pola pikir kita yang dibentuk oleh pola hidup kita di masa lalu dalam hubungan dengan keluarga dan masyarakat. Ia bukanlah kenyataan yang sesungguhnya.
Apa buktinya? Buktinya adalah bahwa setiap orang memiliki penilaian yang berbeda-beda, tergantung pola hidupnya. Bagi beberapa orang, merokok adalah tindakan biasa, dan bahkan membantu pergaulan. Bagi beberapa orang lainnya, merokok adalah tindakan biadab yang tidak hanya merusak kesehatan di perokok, tetapi juga orang-orang sekitarnya. Penilaian-penilaian semacam ini muncul dari latar belakang yang berbeda-beda dari si penilai.
Maka, nama bukanlah kenyataan. Pohon tidak pernah bilang, bahwa dirinya adalah pohon. Apel pun juga demikian. Kata pohon dan apel adalah buatan manusia, dan hanya berlaku untuk manusia. Sebenarnya, kedua benda itu tidaklah memiliki nama.
Rantai Sebab Akibat
Memberi nama adalah awal dari cerita yang kita rangkai atas peristiwa yang terjadi pada kita. Membangun cerita adalah awal dari analisis dan spekulasi yang berlebihan. Analisis dan spekulasi adalah awal dari penderitaan batin yang sebenarnya tak perlu terjadi. Penderitaan batin adalah awal dari kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang ataupun mahluk lain.
Di dalam kehidupan, memberi nama pada pengalaman kerap kali diperlukan untuk memahami pengalaman tersebut. Namun, tindakan ini harus terus disertai dengan kesadaran, bahwa penamaan itu bersifat relatif, rapuh dan terus berubah. Maka, orang tidak boleh melekat dengan nama dengan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Memberi nama pada apa yang kita alami adalah sebuah pilihan, dan bukan keniscayaan.
Di dalam hidup, kita tidak bisa menghindari luka. Rasa sakit pun tak bisa dihindari. Akan tetapi, kita selalu bisa menghindari penderitaan dengan tidak memberi cerita dan nama pada luka yang kita alami. Dengan kata lain, panah pertama tidak bisa dihindari. Sementara, panah kedua merupakan pilihan kita.

sumber
https://rumahfilsafat.com/2016/07/11/sebelum-nama-sebelum-cerita/

Comments